Masih saja tentang pandemi. Masih saja harus taat protokol kesehatan, seruan pemerintah dan tokoh agama. Masih saja harus menahan diri dari kumpul-kumpul dan keluar rumah kalau tidak penting. Masih saja diterbitkan surat dari pejabat berwenang kalau work from home dan learning from home diperpanjang. Dan masih banyak masih saja-masih saja yang lain. Masih saja berupaya memutus mata rantai penularan covid 19. Ya, kita memang masih harus bersabar. Karena sejatinya kesabaran itu tiada batas. Hanya orang yang tidak sabarlah yang mengatakan ‘sabar itu ada batasnya’. Kesabaran dalam ketidakpastian akibat makhluk kasat mata yang memporakporandakan semuanya. Kesabaran dengan iringan doa dan secercah harapan bahwa ‘badai pasti berlalu’. Covid 19 hilang, semua senang.
Bagi umat Islam, Ramadhan tahun ini terasa sangat berbeda. Apalagi berbagai edaran dan seruan terkait pelaksanaan sholat Ied sebagai puncak kemenangan umat Islam sudah bisa dipastikan tidak dilaksanakan sebagaimana biasa. Tidak di tanah lapang maupun di masjid. Demikian pula kegiatan rutin di hari raya yang sudah menjadi tradisi yang mengakar di kalangan masyarakat juga tidak diperkenankan dilakukan sebagaimana biasa. Terasa hampa. Hambar, bagai sayur tanpa garam. Larangan mudik bagi para perantau yang sudah sekian lama menahan rindu dengan keluarga dan kampung halaman tentunya melengkapi kehampaan suasana Idul Fitri di tahun ini.
Galau? Sedih? Tentu saja. Namun kalau kita menyadari bagaimana cepatnya covid 19 itu menular, sehingga kita diminta untuk menahan diri dari hal-hal yang berpotensi menularkan, harusnya kita bersyukur. Allah masih menjaga kita. Masih ada yang mengingatkan kita. Masih ada yang peduli dengan kita. Mari berhenti mengeluh. Saatnya move on. Saatnya kita bangkit. Tidak usah ‘njagakke’! Dimulai dari diri kita sendiri. Dari keluarga kita. Bukankah bulan ini juga bulannya Kebangkitan Nasional? Ya, 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional. Sudah seharusnya momen bersejarah ini kita jadikan tonggak untuk benar-benar bangkit. Bangkit untuk tidak lagi mengeluh. Bangkit untuk menjaga diri dan keluarga. Bangkit untuk melindungi sesama. Bangkit untuk peduli dan berbagi.
Mengapa kita harus bangkit? Mengapa kita tidak boleh mengeluh? Karena sejatinya kita tidak sendiri. Bukan hanya kita. Semua merasakan. Bukan hanya umat Islam yang merayakan hari rayanya dalam sunyi. Sekali lagi, kita tidak sendiri. Mari kita buka lagi kalender dinding di rumah kita. Coba kita flashback kapan pandemi ini mulai melanda. Kalau kapan tepatnya, saya kurang tahu persis. Namun mulai terlihat dan diterapkan upaya-upaya pencegahan penularan dan berujung pandemi, ya sekitar pertengahan bulan Maret 2020. Nah, coba kita cermati tanggal merah yang menunjukkan peringatan keagamaan sejak pertengahan Maret 2020 sampai hari ini. Apa yang anda temukan? Setidaknya ada 3 peringatan hari raya keagamaan di sana. Tanggal 25 Maret 2020 diperingati sebagai Hari Raya Nyepi, hari rayanya umat Hindu. Kemudian pada tanggal 10 April 2020 diperingati sebagai Hari Raya Paskah, yakni hari raya umat Kristiani yang merayakan kebangkitan Yesus Kristus. Selanjutnya tanggal 7 Mei 2020 diperingati sebagai Hari Raya Waisak, hari rayanya umat Budha.
Tanpa bermaksud membandingkan dengan suasana yang terjadi pada umat Islam sejak awal Ramadhan hingga nanti saat Hari Raya Idul Fitri tiba, namun saya ingin mengajak dan mengingatkan bahwa yang demikian itu tidak hanya kita, umat Islam. Bukan umat Islam saja yang merasakan suasana yang berbeda saat berhari raya. Sahabat saya di Bali menceritakan bahwa Hari Raya Nyepi di pulau Bali, pulau dengan penduduk mayoriyas beragama Hindu. Hari Raya Nyepi diperingati dengan suasana yang berbeda. Ada beberapa ritual yang biasa dilaksanakan dengan penuh kemeriahan dan dihadiri begitu banyak orang di tahun-tahun sebelumnya, tahun ini tidak dilaksanakan. Antara lain upacara Melis atau Melasti yang biasanya dilaksanakan sebelum Hari Raya Nyepi dengan membawa segala sarana persembahyangan yang ada di Pura untuk diarak ke pantai atau ke danau, tidak dilaksanakan karena pandemi covid 19. Demikian pula acara Ngerupuk dengan mengarak Ogoh-ogoh yakni karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala berkeliling desa, juga tidak dilaksanakan. Tentunya karena sangat rentan terjadi kerumunan dan berpotensi menularkan virus. Apalagi Pulau Bali adalah pusat pariwisata terbesar yang selalu menjadi magnet bagi para wisatawan baik domestik maupun luar negeri.
Demikian pula peringatan Paskah yakni peringatan kebangkitan Yesus Kristus bagi umat Kristiani. Seorang teman yang beragama Katolik menceritakan bahwa peringatan Paskah di tengah pandemic covid 19 saat ini juga tidak dilaksanakan seperti tahun-tahun sebelumnya. Biasanya sebelum Paskah, setiap minggu mereka mengikuti renungan Paskah di gereja, namun saat ini tidak. Mereka melakukan misa online dengan streaming melalui YouTube. Segala persiapan seperti latihan koor, seragam baru, menyusun jadwal dan petugas pada upacara yang sudah dipersiapkan jauh-jauh sebelumnya, semua terhenti oleh pandemi. Mereka patuh untuk tidak ke gereja, tidak berkumpul dengan saudara, teman dan handai taulan. Semua dilaksanakan di rumah, meski tetap berbagi dengan sesama, terutama mereka yang kekurangan.
Tidak jauh berbeda dengan Hari Raya umat Budha tanggal 7 Mei lalu. Teman saya yang notabene mantan pejabat Penyelenggara Bimbingan Masyarakat Budha di Kementerian Agama tingkat kabupaten juga berbagi cerita. Dia mengiyakan saat saya mencari informasi tentang perayaan Waisak di tengah pandemi covid 19. Umat Budha mengikuti anjuran Pemerintah untuk tidak berkerumun. Sehingga perayaan waisak cukup di rumah saja, di rumah masing-masing bersama keluarga. Sebagai warga Magelang yang tidak jauh dari Candi Mendut dan Borobudur, saya tahu betul bagaimana meriahnya rangkaian acara Tri Suci Waisak pada setiap tahunnya. Saat acara puncak di kedua Candi Budha tersebut, lautan manusia yang menyaksikan arak-arakan benar-benar memacetkan jalan. Tapi tidak untuk tahun ini. Pandemi mengubah semuanya. Waisak cukup di rumah saja.
Nah, umat Islam juga sebentar lagi merayakan Idul Fitri. Hari yang ditunggu-tunggu setelah satu bulan penuh berpuasa di bulan Ramadhan. Namun, hadangan covid 19 juga mengubah segalanya. Jangan bersedih, harus terus ditanamkan dalam diri bahwa yang harus begini ‘bukan hanya kita’. Perayaan Hari Raya umat Hindu, Kristiani dan Budha di atas cukuplah jadi penghibur kita, bahwa kita tidak sendiri. Justru dari sini kita disadarkan bahwa semua umat harus bersatu, bahu membahu, bangkit bersama memerangi covid 19. Bersama kita bisa.
Hari Raya bukan semata seremonial rutin belaka. Baju baru, mobil baru, hidangan mewah dan beragam bukanlah simbol kemenangan. Mungkin Allah sengaja menegur kita yang sering lalai seusai Ramadhan. Lalai untuk melestarikan amaliah Ramadhan. Ramadhan berlalu, semua ikut berlalu. Tertib sholat berlalu, tadarus berlalu, sedekah juga ikut berlalu. Terjebak pada hingar bingar perayaan. Silaturahim sudah kehilangan makna. Asal sudah berkirim ucapan lewat pesan WhatsApp meski kadang cukup copas, kadang juga lupa meng-edit sehingga masih nama orang lain, sudah dianggap sah. Dianggap keren dan kekinian. Mungkin Allah sengaja mengingatkan kita, bahwa hari raya bukan ajang pamer kesuksesan. Mereka yang pulang dari rantau, mudik ke kampung halaman, begitu bangga dengan mobilnya yang mewah, bangga menceritakan kesuksesannya. Sehingga tamparan Allah begitu telak. Skak mat!! Dulu orang mudik ditunggu dan disambut dengan gembira. Kini, dunia terbalik, orang mudik ditolak, dihindari bahkan ditakuti.
Mari bermuhasabah bersama. Teguran yang disampaikan Allah dengan mengirim makhluk tak kasat mata berlabel covid 19 ini hendaknya membuat kita sadar bahwa kita bukan siapa-siapa. Di sisi lain, kondisi ini jangan menjadikan kita lemah dan terpuruk. Mengeluh dan menyalahkan keadaan bukanlah solusi. Mari kita bangkit. Bersama kita bisa. Kita tidak sendiri. Ingat, bukan hanya kita. Kita semua sama, mengalami kondisi yang sama dan harus bergerak dan bangkit bersama. Memerangi covid 19 dengan tetap patuh untuk di rumah saja. Terus pupuk harapan, semai dengan doa yang tiada putus. Yakinlah bahwa badai pasti berlalu. Selamat Hari Kebangkitan Nasional.