'Aisyiyah

Gerakan Perempuan Muslim Berkemajuan

Berita
Jalan Menuju Derajad Taqwa
28 April 2020 10:15 WIB | dibaca 4707
Ramadhan hari ke dua oleh Ibu Siti Alwiyah, S.Ag dari PCA Mertoyudan dengan tema jalan Menuju derajad Taqwa.
Para ulama mendefinisikan taqwa dengan berbagai ungkapan yang berbeda-beda namun semua kembali ke maksud yang sama yaitu melaksanakan apa yang difardhukan Allah dan meninggalkan apa yang diharamkan-Nya
 
Allah berfirman dalam qs.Ali Imran ayat  102
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ 
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.
 
Allah menilai seseorang itu tidak dilihat dari pangkat, golongan, harta maupun fisiknya tetapi Allah menilai seseorang itu karena ketaqwaannya karena  derajat yang paling tinggi dan mulia  dihadapan Allah adalah ketaqwaan. 
 
Adapun janji Allah kepada hambanya yg taqwa adalah
1. Diampuni dosanya QS. 8:29
2. Diberikan rahmat dan cahaya hidayah dari Allah QS.57:28
3. Diberikan jalan keluar dan rizki dari arah yang tidak di sangka-sangka QS.65:2-3
4. Dimudahkan dalam semua urusannya QS.65:4
 
DR. Abdullah Nashih Ulwan dalam bukunya yang berjudul “Tarbiyah Ruhiyah” menyebutkan bahwa ada lima faktor penting dalam mencapai takwa.
 
     1. Mu’ahadah (QS 1:5, 7:172, 16:91)
 
Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian-perjanjian yang telah kita buat kepada Allah. Hendaknya setiap kita menyendiri dan mengingat perjanjian-perjanjian yang telah kita buat kepada Allah. Dengan mu’ahadah kita akan tetap istiqamah dalam melaksanakan syariat Allah.
 
Perjanjian kita dengan Allah adalah ketika kita di alam sulbi (alam ruh). Sebagaimana firman Allah SWT : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): 
 
"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"  (QS Al-A'raf : 172)
 
Hendaklah seorang mukmin ber-khalwat (berdua-duan) antara dia dan Allah untuk memuhasabah diri seraya mengatakan pada dirinya : "Wahai jiwaku, sesungguhnya engkau telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat engkau membaca Al Fatihah di dalam sembahyang. Engkau telah berikrar untuk komitmen di atas jalan yang lurus. Engkau telah berikrar untuk menjauhi jalan orang orang yang sesat."
 
     2. Muraqabah (QS Asy-Syuara :218-219)
 
Muraqabah adalah merasakan keagungan Allah di setiap waktu dan keadaan, serta merasakan kebersamaannya (ma’iyatullah) dalam sepi maupun ramai. Dengan muraqabah kita akan ikhlas, karena setiap perbuatan adalah untuk-Nya. Dengan muraqabah kita akan istiqamah. Tak terpengaruh oleh situasi dan kondisi.
 
Ada beberapa jenis muroqobah :
a).Muroqobah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepadaNya.
b).Muroqobah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat,penyesalan dan meninggalkannya.
c).Muroqobah dalam hal hal mubah adalah dengan menjaga adab adab terhadap Allah dan      bersyukur.
d).Muroqobah dalam musibah adalah dengan redha kepada ketentuan Allah dan memohon pertolongan dengan sabar.
 
    3. Muhasabah (QS Al Hasyr : 18)
 
Makna muhasabah adalah hendaknya seorang muslim menghisab dirinya setelah melakukan sebuah amal. Apakah amal itu benar-benar semata untuk meraih ridha Allah ataukah tercampur dengan kepentingan pribadi, riya, ujub atau malah telah mengurangi hak-hak orang lain? Apakah amal yang kita lakukan sudah maksimal? Atau dilaksanakan sekedarnya? Di samping itu muhasabah juga melakukan perhitungan diri antara amaliyah dan dosa. Apakan amaliyah yang kita lakukan sudah cukup menutup dosa? Lalu bagaimana dengan pertobatan? Dengan muhasabah kita akan terbebas dari penyakit hati.
Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya hendaklah seorang mukmin memeriksa dirinya..Apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk kepentingan pribadi, mencari popularitas atau kerana dorongan ridha Allah dan menghendaki pahala-Nya. Jika benar benar karena ridha Allah, maka ia akan melaksanakannya walaupun hawa nafsunya tidak bersetuju dan ingin meninggalkannya.
 
Makna musabah sebagaimana diisyaratkan oleh ayat surah Al Hasyr ayat 18 ialah hendaklah seorang mukmin menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan, apakah tujuan amalnya untuk mendapat ridha Allah? atau apakah amalnya itu diiringi riya ? Apakah dia sudah memenuhi hak hak Allah dan hak hak manusia? Dsb.
 
Ketahuilah, seorang mu'min setiap pagi hendaklah mewajibkan diri untuk memperbaiki niat, melaksanakan taat, memenuhi segala kewajiban dan membebaskan diri dari riya. Demikian pula di waktu petang atau malam, semestinya ia punya waktu untuk bersendirian, menghitungkan semua yang telah dilakukannya….Bila ia kebaikan, hendaklah bersyukur, jika ternyata ada dosa dan maksiat, hendaklah mohon ampun dan bertaubat.
Kata Umar ibul-Khattab "Hisablah diri kamu sebelum kamu dihisabkan, timbanglah diri kamu, sebelum kamu ditimbangkan dan bersiaplah untuk pertunjukan yang agung (hari kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kamu barang satu pun."
 
      4. Muaqabah (QS 2:179)
Muaqabah adalah pemberian sanksi. Sudah sepatutnya bagi kita jika kita telah melalaikan Allah, kita beri sanksi diri kita sebagaimana orangtua memberi sanksi kepada anaknya yang bersalah. Semoga dengan melakukan muaqabah kita menjadi jera berbuat dosa.
Sanksi / denda yang dimaksudkan sebagai mana diisyaratkan dalam Surat Al Abaqarah ayat 179 adalah apabila seorang mu'min melakukan kesalahan maka dia tidak membiarkannya. Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudahkan jalan untuk kesalahan yang lain dan semakin payah untuk meninggalkan kesalahan.
 
Sanksi ini harus dengan sesuatu yang mubah, tidak boleh dengan jaminan yang haram seperti membakar salah satu anggota badan, meninggalkan makan dan minum sampai membahayakan dirinya.
 
Generasi salaf yang soleh telah memberikan teladan tentang ketaqwaan, muhasabah, menjatuhkan sanksi pada dirinya jika bersalah dan bertekad untuk lebih taat jika dirinya lalai. Antara contohnya ialah :
 
Dalam sebuah riwayat,disebutkan Umar Al Khattab r.a. pergi ke kebunnya.Ketika  pulang di dapati orang sudah selesai melakukan solat asar berjemaah.Maka beliau berkata " Aku pergi hanya untuk sebuah kebun, aku pulang orang sudah sholat Ashar, kini kebunku aku jadikan sedekah untuk orang orang miskin."
 
     5. Mujahadah (QS Al Ankabut [29]:69)
 
Mujahadah adalah bersungguh-sungguh dalam melaksanaan ibadah. Di sana ada makna memaksakan diri untuk berbuat yang terbaik, menyerahkan yang terbaik dan mengoptimalkan diri dalam beramaliyah. Ibadah adalah tarbiyah. Dengan mengerahkan kapasitas maksimal, itu artinya kita membangkitkan potensi yang terpendam dalam diri kita. Maka integritas kita akan semakin meningkat.
 
Dasar mujahadah adalah dalam firman Allah surah Al Ankabut ayat 69 yang bermaksud "Dan orang orang yang berjihad untuk mencari keredhaan Kami, benar benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar benar beserta orang yang berbuat baik.”
 
Maksud mujahadah di sini ialah apabila seseorang mu'min terseret dalam kemalasan, kerehatan, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal amal sunnah serta ketaatan yang lain tepat pada waktunya maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal amal sunnah lebih banyak dari sebelumnya.Dalam hal ini harus tegas, serius dan penuh ketaatan sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang tertanam pada dirinya.
 
Dalam hal ini, cukuplah Rasulullah SAW menjadi qudwah yang patut dicontohi.yang mana baginda bershlat, sampai bengkak kakinya. Banyak hadith hadith nabi .s.a.w. yang menggalakan untuk mujahadah, sebagai sumber motivasi diri.
 
Bagi orang yang ingin bersungguh sungguh dalam ibadah dan membawa dirinya untuk bermujahadah, haruslah memerhatikan dua perkara penting dalam amalnya.
1)  Hendaklah amal amal sunnah tidak membuatkan dia lupa kewajiban-kewajiban yang lain. Contohnya, dia mengerjakan suatu amal sunnah (sunat) tertentu sementara dia mengabaikan hak keluarga berupa nafkah atau mengabaikan hak dirinya.
2)   Tidak memaksa diri dengan amal amal sunat yang diluar kemampuannya. Sebagai mana sabda Nabi SAW dalam sebuah hadith sahih riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim : "Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan kalian. Demi Allah, Allah tidak akan jemu sehinggalah kalian merasa jemu".
Contoh mujahadah yang berlebihan adalah sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits berikut ini :
 
“Sekelompok orang berkumpul membicarakan sesuatu. Lelaki pertama berkata, saya akan shalat malam dan tidak tidur. Yang lain berkata, saya akan puasa dan tidak berbuka. Yang ketiga berkata, saya tidak akan menikah dengan wanita. Perkataan mereka ini sampai kepada Rasulullah SAW. Maka baginda berkata, kenapa ada orang-orang yang begini dan begitu?! Aku shalat malam tapi juga tidur, aku puasa tapi juga berbuka, dan aku menikahi wanita. Barangsiapa yang membenci sunnahku maka dia bukan daripada kalanganku.” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
 
 
Sumber
- Tarbiyah Ruhiyah karya Dr. Abdullah Nasih Ulwan
- Bekal Seorang Dai karya Anas Ismail Abu Dawud
- Khutbah Jum'at  Pilihan karya Saifudin Zuhri,Lc
- Alqur'an Dan Terjemahan
- Hadits Bukhori Muslim
Shared Post: